Mati Ketawa Ala Reformasi
... Hati-hati
! Banyak dinding bertelinga ! ...
Di tengah krisis ekonomi yang membuat ribuan rakyat kecil bertambah
penderitaannya, sejumlah, pejabat Indonesia menyatakan bahwa rakyat Indonesia adalah orang
yang paling terbiasa dengan penderitaan. Barangkali pernyataan ini benar adanya tapi juga
barangkali pernyataan ini adalah sebuah humor baru yang lebih mirip sebuah parodi.
Belakangan ini orang Indonesia kian produktif menciptakan humor. Para
pelaku ekonomi di Indonesia juga tak mau kalah bikin humor segar dengan merespon pembelian
dolar Amerika secara besar-besaran saat RAPBN dibacakan Soeharto. Demikian juga ketika
Soeharto menyatakan takluk pada tuntutan IMF, orang kembali memborong dolar. Rupiah jadi
anjlok. Juga saat Soeharto menyatakan kesediaannya dicalonkan jadi presiden lagi oleh
Harmoko. Lantas anak presiden dan sejumlah pejabat membalasnya dengan humor pula. Antara
lain dengan melancarkan Gerakan Cinta Rupiah dan perlombaan menyumbang emas secara
mencengangkan. Tampaknya dalam situasi krisis, orang kian butuh humor.
Boleh jadi pers dibungkam, aktivis prodemokrasi dipenjara, organisasi
kemahasiswaan dan pemuda dibonsai, wakil rakyat sejati di-recall, aspirasi rakyat
disumbat, tapi siapa yang bisa melarang orang bikin humor? Barangkali humor adalah sebuah
bentuk katarsis orang dari ketidakberdayaannya dalam dunia nyata. Bisa saja penataran P-4
telah dijalankan secara sistematis, gerak-gerik setiap warganegara diawasi dan para wakil
rakyat diberi pembekalan, tapi apa memang "ya" lantas semua jadi serba seragam?
Kumpulan humor ini, paling tidak membuktikan bahwa ternyata tidak
semua manusia Indonesia telah "mati pikir" di negerinya sendiri. Ada sejumlah
orang yang masih kreatif dan berotak sehat. Buktinya mereka bisa membuat humor. Dan lewat
humor-humor bikinannya itu mereka berhasil mengundang orang lain untuk tersenyum. Meski
kadang sinis dan menyakitkan.
Kumpulan humor ini seluruhnya di-down load
dari internet. Sebuah media yang hingga kini belum bisa dikontrol apalagi dibredel oleh
Polri, ABRI, Bakin, BIA atau demit sekali pun. Apalagi oleh Deppen yang hingga kini masih
sibuk melakukan pembinaan terhadap para pemimpin redaksi media cetak lewat telepon,
faksimili dan sejumlah pemanggilan.
Barangkali banyak di antara humor ini merupakan pengulangan dari
sejumlah lelucon yang pernah diterbitkan. Barangkali para pengirim humor ini memang
mengadaptasi dari humor tentang penguasa Uni Soviet (dulu) atau lainnya. Itu tak penting,
sebab penderitaan itu berfaham universalian.
Dalam strata penderitaan yang sama, ideologi komunis atau sosialis
seketika diganti dengan kapitalis atau Pancasila. Figur diktator Hitler bisa diganti
dengan Breznhev atau Lon Nol atau Soeharto. Kedunguan tokoh De Gaulle dalam humor Perancis
bisa paralel dengan kedunguan Syarwan yang pernah mengatakan, "Dari nyanyinya saja,
saya bisa menebak ideologi seseorang." Dalam sebuah lakon tragedi, memang banyak
paralelisme yang bisa dari tokoh-tokohnya. Di bawah sebuah penindasan batas antara tragedi
dan komedi memang begitu tipis.
Kami, sebagai penerbit sengaja, menamakan diri sebagai Penerbit
Pustaka GoRo-GoRo. Nama yang sama dengan nama "rubrik" yang memuat humor-humor
ini dalam internet. Dan, barangkali sebutan "GoRo-GoRo" memang kami anggap tepat
untuk menggambarkan bagaimana sebelum perang yang sesungguhnya dimulai, perlu sebuah
babakan dimana dalang mengeluarkan serangkaian lelucon. Pada saat ini badut dan punakawan
berkesempatan menertawakan brengseknya kekuasaan.
Selamat tertawa! Tertawalah sepuasnya, sebelum penguasa melarang
orang tertawa !
Mati Ketawa Ala
Reformasi
... Hati-hati ! Banyak dinding bertelinga
! ...
Penerbit Pustaka
GoRo-GoRo
Anggota Ikatan Penerbit Buku Indonesia Alternatif (IKAPIA)
Cetakan Pertama,Januari 1998 Percetakan PT Manakutahu, Jakarta.
Hak Cipta © Rakyat Indonesia yang di tengah tekanan dan penderitaannya masih bisa
berhumor-ria